Oleh: Siti Ropiah
Dalam ajaran Islam, tepatnya kajian ushul fiqih, terdapat berbagai metode (sumber hukum: pendapat sebagian ulama) dalam penetapan hukum Islam. Di antaranya syar’u man qoblana.
Syar’u man qoblana merupakan syariat Allah yang berlaku pada umat sebelum Islam. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.
Terkait syar’u man qoblana ini muncul pertanyaan, apakah syariat agama sebelum Islam tersebut berlaku untuk umat Islam?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa syar’u man qoblana terbagi atas dua :
Pertama, syar’u man qoblana yang terdapat dalam Al Qur’an atau hadis
Kedua, syar’u man qoblana yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau hadis
Terhadap syar’u man qoblana yang tidak terdapat dalam Al Qur’an atau hadis, ulama bersepakat tidak dapat dijadikan sebagai syariat bagi umat Islam.
Terhadap syar’u man qoblana yang terdapat dalam Al Qur’an atau hadis terbagi tiga bagian, yaitu:
Pertama, syar’u man qoblana tersebut dinasakh (dihapus). Maka aturan tersebut tidak berlalu bagi umat Islam (tidak lagi menjadi syariat Islam). Seperti yang terdapat dalam QS Al An’am: 146 yang berisi larangan memakan lemak sapi dan domba kepada umat Yahudi. Ayat ini telah dinasakh, hingga hapus pula keharaman tersebut.
Kedua, syar’u man qoblana tersebut tidak dinasakh. Karenanya menjadi syariat bagi umat Islam. Seperti syariat puasa. Sebagaimana terdapat dalam QS Al Baqarah:183.
Ketiga, syar’u man qoblana tersebut secara jelas tidak dinyatakan menjadi syariat bagi umat Islam dan juga tidak dinyatakan dinasakh. Terhadap hal ini terdapat dua pendapat, yaitu (1) Jumhur menyatakan hal itu sebagai syariat Islam. (2) Menurut sebagian Madzhab Syafi’i hal itu tidak menjadi syariat Islam.
Sejatinya Memahami Tata Cara Penetapan Hukum Islam Menghasilkan Pemahaman Komprehensif tentang Hukum Islam
Salam Perindu Literasi
Please follow and like us: