Anjuran Puasa Syawal didasarkan pada hadis
من صام رمضان ثم اتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa puasa Ramadan kemudian diikuti 6 hari di bulan Syawal, mendapatkan pahala seperti berpuasa setahun”.( HR.Bukhari. Lihat Maktabah Syamilah, Sahih Al Bukhari, Kuz. 2, hlm. 822, No. 1164).
Berdasarkan hadis di atas, pahala Puasa Syawal dapat diperoleh bila telah melaksanakan Puasa Ramadhan. Namun dalam pelaksanaannya Puasa Ramadhan terkadang tidak dapat dilaksanakan secara penuh karena adanya udzur syar’i, seperti haid, sakit, dan musafir (termasuk orang menyusui atau melahirkan).
Berdasarkan hal tersebut di atas pelaksanaan antara Puasa Syawal dan Puasa Qadha Ramadhan terjadi perbedaan pendapat, yaitu:
Pertama, diharuskan mendahulukan Puasa Qadha Ramadhan. Hal ini didasarkan bahwa kalimat ثم اتبعه dipahami bahwa Puasa Syawal dilakukan setelah Puasa Ramadhan secara sempurna. Karenanya mendahulukan Puasa Ramadhan lebih baik daripada Puasa Syawal. Selain itu Puasa Qadha Ramadhan merupakan puasa wajib. Sedangkan Puasa Syawal merupakan puasa sunah. Tentu kedudukan wajib lebih tinggi dari yang sunah. Karenanya mendahulukan yang wajib (Puasa Qadha Ramadhan) lebih baik dari puasa sunah (Puasa Syawal).
Kedua, boleh mendahulukan Puasa Syawal. Hal ini didasarkan pada kenyataan yang terjadi di masyarakat khususnya kaum wanita. Terkadang kondisi tertentu seorang wanita sulit untuk meraih Puasa Qadha Ramadhan dan Puasa Syawal dalam waktu satu bulan, yaitu di Bulan Syawal. Kondisi tertentu itu seperti karena lama haid yang dialaminya. Di satu sisi, Puasa Syawal terbatas dengan waktu, di sisi lain kondisi wanita karena udzur syar’i yang tidak dapat ditolak. Sehingga karena terbatasnya waktu seseorang (khususnya wanita) tidak dapat melaksanakan qadha puasa di Bulan Syawal.
Demikian kontroversi pun terjadi saat melaksanakan Puasa Syawal, apakah berurutan atau tidak berurutan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, menyatakan lebih baik berurutan. Kedua, boleh tidak berurutan, yang penting masih dalam Bulan Syawal.
Begitu juga kontroversi dalam penggabungan niat antara Puasa Qadha Ramadhan dengan Puasa Syawal. Dalam hal ini menghasilkan pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Kontroversi yang terjadi, tidaklah menjadi perselisihan, namun menjadi solusi. Karena kemampuan tiap orang tidak selalu sama. Demikian situasi kondisi tiap orang pun berbeda. Karenanya perbedaan pendapat (kontroversi) memberikan warna dan menciptakan solusi tersendiri. Tak dapat dibayangkan bila hanya terdapat satu pendapat, akan terdapat sebagian orang melakukan ibadah dengan berat. Padahal prinsip dalam ibadah adalah tidak memberatkan.
Sejatinya Kontroversi Sebagai Ajang Melakukan Ibadah Sesuai Kemampuan
Salam Perindu Literasi
Please follow and like us: